Argumentum Modus Ponens dengan Pendekatan Logika Deduksi : Al-Quran dari Allah SWT

Modus Ponens adalah Metode pendekatan pola silogisme yang memiliki pola seperti ini :

  1. Premis 1     : Jika A, maka B.
  2. Premis 2    : A.
  3. Kesimpulan     : Oleh Karena Itu, B.

Ciri-ciri dari modus ponens adalah "jika…..maka…." bagian "jika" adalah sebab dan bagian "maka" adalah akibat.

Modus ponens adalah logika yang barangkali kita gunakan setiap hari sepanjang hidup. Kesalahan logika yang sering terjadi dari pola modus ponens adalah "membenarkan akibat" seperti ini :

  1. Premis 1     : Jika A, maka B.
  2. Premis 2    : B.
  3. Kesimpulan     : Oleh Karena Itu, A.

Seperti contoh sebagai berikut modus ponens "telur pecah":

  1. Premis 1     : Jika saya menjatuhkan telur, maka telurnya akan pecah.
  2. Premis 2    : Saya menjatuhkan Telur.
  3. Kesimpulan     : Oleh Karena Itu, Telurnya akan pecah.

Namun bagaimana jika dibalik dengan kesalahan logika "membenarkan akibat" telur pecah :

  1. Premis 1     : Saya menjatuhkan telur, maka telurnya akan pecah.
  2. Premis 2    : Telurnya pecah.
  3. Kesimpulan     : Oleh Karena Itu, pasti saya menjatuhkan telur.

(padahal penyebab telur pecah bisa terjadi karena beberapa peristiwa seperti telur diinjak, telur menetas, dilempar)

Argumentum Modus Ponens Al-Quran dari Allah SWT:

  1. Premis 1     : Jika manusia tidak bisa membuat sesuatu yang dapat dipersamakan dengan ayat-ayat Al-Quran, maka Al-              Quran adalah dari Allah SWT.
  2. Premis 2    : Manusia tidak bisa membuat sesuatu yang dapat dipersamakan dengan ayat-ayat Al-Quran.
  3. Kesimpulan     : Oleh Karena Itu, Al-Quran pasti dari Allah SWT.

Membenarkan sebab untuk membuktikan akibat itu sah sah saja, tapi tidak bisa sebaliknya. Namun dalam kasus modus ponens Al-Quran dari Allah SWT tidak mengapa dibalik sebab akibatnya di dalam premis premis serta kesimpulannya. Karena pada kenyataannya jurus "membenarkan akibat" juga sering digunakan di pengadilan karena merupakan dasar bukti bersyarat. Artinya jika kita menelusuri penyebab atau "bukti bukti" itu semakin banyak maka "membenarkan akibat" semakin kuat bukan sebuah cuma kebetulan.

Sebagai contoh "membenarkan akibat" Al-Quran dari Allah SWT :

  1. Premis 1     : Jika manusia tidak bisa membuat sesuatu yang dapat dipersamakan dengan ayat-ayat Al-Quran, maka Al-              Quran adalah dari Allah SWT.
  2. Premis 2    : Al-Quran pasti dari Allah SWT.
  3. Kesimpulan     : Oleh Karena Itu, pasti Manusia tidak bisa membuat sesuatu yang dapat dipersamakan dengan ayat-ayat Al-              Quran.

(Walau demikian, ada penyebab alternatif lain yang perlu ditelusuri kemudian untuk membuktikan bahwa Al-Quran pasti dari Allah SWT, bisa jadi tantangan menemukan banyak pertentangan dalam Ayat Al-Quran, Sesuatu informasi yang benar benar baru dalam Al-Quran, keakuratan kebenaran, Al-Quran yang terpelihara dan tidak kadaluarsa, tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan sebagainya. Semakin banyak buktinya maka semakin mudahlah bagi kita untuk menyangkal keraguan bahwa itu semua cuma kebetulan)

Lebih khusus modus ponens Al-Quran dari Allah SWT

Karena fokus kita adalah membahas lebih dalam argumentasi modus ponens Al-Quran dari Allah SWT seperti ini:

  1. Premis 1     : Jika manusia tidak bisa membuat sesuatu yang dapat dipersamakan dengan ayat-ayat Al-Quran, maka Al-              Quran adalah dari Allah SWT.
  2. Premis 2    : Manusia tidak bisa membuat sesuatu yang dapat dipersamakan dengan ayat-ayat Al-Quran.
  3. Kesimpulan     : Oleh Karena Itu, Al-Quran pasti dari Allah SWT.

Maka, topik kesalahan logika "membenarkan akibat" tidak kita bahas lebih detail.

Penulis menemukan pertama kali istilah Argumentum Modus Ponens ini di dalam artikel seorang Kristen Ressurection David wood1. David wood mengakui argumen modus ponens ini adalah argumen yang sangat kuat dari kalangan Muslim. Sayangnya dia menggunakan pendekatan "analogi optical illusion" sebagai pengantar yang menurut penulis sangat lemah, karena menurut Madsen Pirie analogi hanya merupakan alat komunikasi daripada lebih kepada berpikir logis atau sumber pengetahuan.2
David Wood menganalogikan dengan jari Jempol kita bisa lebih besar atau lebih kecil dari Gunung Everest, jika kita menggunakan "optical illusion". Padahal jelas jelas Jempol kita lebih kecil daripada Gunung Mount Everest dengan pendekatan "Ilmu Pengetahuan fisika" .

Setelah itu kemudian David Wood membantah premis premisnya dari modus ponens tersebut. Namun penulis akan menggunakan pendekatan logika deduksi3


yang diperkenalkan oleh Andrea Hamzah Tzortzis untuk membantah tulisan David Wood tersebut.

Argumentum Modus Ponens akan berhasil jika sang pemilik "ide" mempunyai konsep "tantangan" atau mempersilahkan pihak yang tidak percaya untuk "menyangkal sebab untuk membuktikan akibat lain." Artinya dalam "argumentasi Modus Ponens Al-Quran Dari Allah SWT " dipersilahkan membuktikan bahwa Jika ada manusia yang bisa membuat sesuatu yang dapat dipersamakan dengan Ayat Al-Quran maka, Al-Quran bukan dari Allah SWT. Itulah tantangannya kepada orang yang tidak percaya. Konsep Al-Quran jelas memberikan tantangan ini daripada konsep kitab kitab atau buku buku lainnya. Seperti dalam Surat Al-Baqarah(QS:2:23) yang berbunyi :

"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."

Silogisme dari "Argumentum Modus Ponens Al-Quran dari Allah SWT" mempermudah kita untuk membahas dan mendiskusikan setiap premise secara sendiri sendiri sehinggi kita bisa memahami dan mengetahui kebenaran kesimpulan dari premis premis yang telah teruji.

Penjelasan Premise Pertama :

Premis pertama dari argumentum modus ponens Al-Quran dari Allah SWT adalah : "Jika manusia tidak bisa membuat sesuatu yang dapat dipersamakan dengan ayat-ayat Al-Quran, maka Al-Quran adalah dari Allah SWT.". Bagi David Wood kalimat seperti ini sama seperti :"Jika manusia tidak bisa membuat puisi sebanding seperti T.S. Eliot, atau bermain drama seperti Shakespeare. Atau Buku seperti Charles Dickens, maka anda harus menerima bahwa buku tersebut dari Tuhan". Dan menurut dia hal ini argumen yang sangat murahan dan menggelikan.

Yang tidak disadari oleh David Wood adalah, buku buku atau pemain drama seperti shakespeare itu sangat terbukti mudah untuk ditiru dan diduplikat oleh manusia. Kita sering melihat penggemar berat Alm.Michael Jackson, bergaya dan berpenampilan sama dengan Michael Jackson yang asli. Kita sering mendengar Lagu si A mirip lagu si B atau lagu A dan B berbeda tapi beraliran sama, Kita sering melihat film Indonesia membajak "konsep" dari film luar negeri dan sebagainya sebagainya bahkan saking mudahnya dibajak baik ide, blue print, konsep, pola, isi, bahkan kesemuanya, manusia berusaha membuat perlindungan hak kekayaan intelektual. Ini menunjukkan karya karya manusia tersebut bisa dipersamakan dengan karya manusia lainnya. Seperti Windows XP walau sudah dipatenkan, ternyata ada karya dibidang yang sama kualitasnya seperti pesaing lainnya yaitu Linux, atau Apple OS. Perbedaan konsep ide dasar karya manusia adalah manusia berusaha melindungi karyanya bukan sebaliknya menantang orang lain untuk mencoba meniru karyanya, sedangkan konsep Ide dasar Al-Quran adalah sebaliknya menantang manusia untuk meniru kualitas isi Al-Quran.

Selama karya manusia adalah karya manusia dan dapat diperbandingkan sama dengan karya manusia yang lainnya, maka hal itu bukanlah dari Tuhan. Maka pernyataan Premise pertama dari argumentum modus ponens Al-Quran pasti dari Allah SWT adalah benar.

Penjelasan Premise kedua :

Premise kedua berbunyi : "Manusia tidak bisa membuat sesuatu yang dapat dipersamakan dengan ayat-ayat Al-Quran."

Al-Quran selama 1400 tahun lebih sejak dari zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, belum ada yang bisa mempersamakan kualitas Al-Quran baik konsep, ide, blueprint, sistem, bahasa, kandungan isi, lafaznya, dihafal banyak orang, sinergi dengan Ilmu pengetahuan dan sejarah serta authentic tidak daluwarsa. Belum ada sama sekali.

Namun untuk membantah mereka yang ragu kepada premise kedua ini kita dapat menggunakan pendekatan rasional deduksion. Pendekatan Rasional Deduksion telah diakui sebagai pendekatan yang digunakan sepanjang sejarah baik di dunia akademik barat maupun timur. Rasional deduksion adalah proses berpikir yang berangkat dimulai dari pernyataan umum yang tidak terbantahkan, dan dengan pendekatan rasional deduksion, menggambarkan atau mendeskripsikan kesimpulan logika yang memungkinkan dari statemen umum tersebut.

Pendekatan rasional deduksion ini lebih kepada kasus "Fakta Sejarah Al-Qur'an dan Kemampuan Linguistik dari Arab Klasik".

Ketika Al-Quran yang mulia turun, pernyataan yang dapat diterima secara umum di dunia Arab adalah bahwa pada saat itu perkembangan ekspresi Bahasa dan Sastra Arab telah mencapai puncak maksimalnya. Al Quran turun dengan sebuah tantangan – untuk memproduksi 3 baris ayat dengan persamaan bahasa dan sastra Arab yang dari text Al-Qurannya (jadi tantangannya lebih kepada bahasa dan sastranya bukan berupa isi kandungan kebenarannya- karena hal ini adalah cerita/metode lain tapi tidak menafikkan isi kebanaran yang dikandung Al-Quran seperti yang disalah duga David Wood). Banyak sekali usaha usaha yang telah dilakukan untuk membongkar atau mengalahkan tantangan Al-Quran tersebut dan dapat terlihat dipertahankan penulisannya, Semuanya Gagal. Mereka akhirnya berkesimpulan bahwa Al-Quran adalah dari sesuatu yang "ajaib" dan menarik untuk di catat bahwa mereka tidak pernah mengklaim bahwa Muhammad-lah yang membuat Al-Quran.

Jadi siapakah pembuat Al-Quran?

Ketika pertanyaan tentang Pembuat Al-Quran, dalam konteks 'pernyataan yang diterima umum' dan argumen lainnya, yang harus dipahami pertama kali bahwa Pembuat Al-Quran bisa saja dari beberapa kemungkinan jawaban. Dan ada beberapa nominasi pilihan jawaban :

i. A Non Arab ii. An-Arab iii. Muhammad iv. Djinn v.The Creator

Al-Quran tidak sebanding atau tidak sama dengan bahasa Arab dan di luar perbandingan antara literatur sastra Arab lainnya. Hal ini menunjukkan Al-Quran tidak dapat diuraikan atau ditulis oleh seseorang yang tidak mengerti bahasa dan sastra Arab. Berpikir seperti karya sastra Inggris contoh : Jane Austen dalam karya Pride and Prejudice, Frakenstein karyanya Mary Shelley atau Charlotte Bronte karya Jane Eyre. Apakah bisa salah satunya bisa menjadi penulisnya tanpa mengerti bahasa Inggris? Hal ini juga sama pada literatur dengan bahasa lainnya. Seperti Divine Comedy karya Dante, Don Quixote Karya Carvantes, War And Peace karya Tolstoy, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan lain sebagainya. Tentu adalah sebuah bercandaan jika mengklaim bahwa karya karya tersebut dibuat tanpa mengakses dan mempelajari bahasa dari karya sastra tersebut. Dengan demikian opsi jawaban pertama bahwa Non-Arab yang membuat Al-Quran dengan sangat mudah dan aman dapat dieliminasi dari nominasi jawaban.

Jika Al-Quran adalah ditulis oleh seorang keturunan Arab Asli, maka seharusnya "test atau tantangan tidak dapat ditiru" tidak dapat diajukan sebagai sebuah tantangan, seperti tantangan itu tidak dilakukan oleh bahasa-bahasa lain. Siapapun dapat menulis dan yang lainnya dapat menulis sedikit dengan gaya yang sama, namun demikian "tantangan" tersebut dalam sejarah sudah dicoba oleh pihak yang memiliki otoritas keilmuan dalam berbahasa dan sastra Arab dan hanya meninggalkan kelelahan. Demikian orang orang Arab tetap berusaha mencoba untuk meniru Gaya dan Sastra dari Al-Quran yang menyisakan "bahasa yang sulit dimengerti dan dipahami sepenuhnya" sehingga kita bisa dengan amannya mengatakan bahwa Pembuat Al-Quran bukanlah dari Orang Arab. Maka nominasi kemungkinana jawaban Orang Arab dapat dieliminasi.

Muhammad SAW, dengan segala akhlak yang mulianya, tidak diragukan lagi adalah seorang keturunan Arab dan bernafas berbicara dengan bahasa Arab. Pada kenyataanya tidak ada bukti dan saksi yang mengatakan bahwa Muhammad SAW pernah mengklaim bahwa Al-Quran adalah Karya kontemporernya bahkan dari orang orang yang berusaha membunuhnya maupun ingin menghancurkannya. Di sisi lain Al-Hadith (Narasi yang diatributkan kepada Nabi) memiliki perbedaan gaya bahasa dan sastra dengan gaya bahasa dan gaya sastra Al-Quran. Pertanyaannya "Apakah bisa seseorang Muhammad SAW yang buta huruf berbicara dua gaya bahasa dan gaya sastra Arab yang sangat berbeda jauh sekaligus selama 23 tahun beliau hidup?"

Jika Al-Quran dibuat oleh Djinn, maka seharusnya seseorang yang menuduh hal ini terlebih dahulu harus percaya adanya Tuhan yang menciptakan Djin. Tidak mungkin seseorang percaya adanya Djin atau Iblis namun dia menolak keberadaan Tuhan. Kemudian syarat lainnya adalah Djin atau Iblis haruslah memberitahukan keberadaanya lewat perantara manusia, maka jika Al-Quran adalah produk dari Djin dan Iblis maka Djin tersebut berbicara kepada Muhammad SAW. Pada kenyataannya Muhammad SAW tidak pernah mengklaim bahwa Al-Quran adalah produk dari Djinn yang membisikkinya. Dan Kemudian tantangan Al-Quran kepada Djin dalam surat Al-Israa' (QS:17:88) yang mengatakan Djin yang berkumpul dengan manusia tidak akan mampu membuat sebuah ayat Al-Quran menjadi tidak logis. Bagaimana mungkin Djin mengakui membuat keseluruhan Al-Quran namun sekaligus membuat tantangan yang mengatakan saya (Djin) tidak akan mampu membuat sebuah ayat Al-Quran? Pertentangan jawaban bahwa Al-Quran dari Djin lainnya bisa dilihat dalam ebook terjemahan Karya Garry Miller "Al-Quran yang Mengagumkan" bab "pertemuan dengan Pendeta" hal 33. Dengan demikian Nominasi kemungkinan jawaban pembuat Al-Quran adalah Iblis dapat dieliminasi dengan aman.

Penjelasan Kesimpulan.

Semenjak premis pertama benar dan premis kedua benar, maka premis kesimpulan yang berbunyi : "Oleh Karena Itu, Al-Quran pasti dari Allah SWT." Adalah benar.

-----------------------------

Wood, David, Islam's Rule of Thumb,
http://www.answering-islam.org diakses tanggal 28 Desember 2009

2 Pirie,Madsen.How to win every argument: The use and Abuse of Logic, bagian :analogi fallacy, continuum 2006

3 Tzortzis, Hamzah A.Rasional Deduksion, http://www.theinimitablequran.com, diakses tanggal 30 November 2009.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Argumentum Modus Ponens dengan Pendekatan Logika Deduksi : Al-Quran dari Allah SWT"