"Mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya" (QS 10:39)
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (Al Israa 17:36)
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya." (Al-Hajj:22:8)
As for me, all I know is that I know nothing.
True knowledge exists in knowing that you know nothing1
Pernyataan Socrates itu adalah sebuah ironi ketika manusia seakan-akan telah mengetahui segala sesuatu dan menganggap apa yang diketahuinya adalah yang paling benar. Pengetahuan manusia mempunyai batas, tetapi apakah ketidaktahuan juga merupakan sebuah pengetahuan, masih merupakah hal yang gelap di zaman Greek filsuf Socrates. Socrates dianggap orang paling bijak oleh peramal karena hanya dia yang tahu mengenai ketidaktahuannya.
Sedangkan di zaman Rasulullah SAW telah ditegaskan dengan sangat jelas pula dalam Al-Quran bahwa "ketidaktahuan" tidak bisa dijadikan bahan argumentasi. Seperti kutipan ayat ayat tersebut di atas. Ciri ciri yang bisa dilihat dalam dunia Islam adalah jika seseorang tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu maka mereka sering berkata "Wallahu'alam" (Hanya Allah Yang Mengetahui Segala Sesuatu). Pengetahuan tentang ketidaktahuan boleh jadi bisa membuat Socrates rendah hati, tetapi tidak baik apabila dijadikan dasar mengambil kesimpulan. Argumentum ad ignorantium terjadi ketika kita menggunakan ketiadaan pengetahuan kita mengenai sesuatu untuk menyimpulkan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya.
-----------------------------
Argumentum ad Ignorantiam (appeal to ignorance): The fallacy that a proposition is true simply on the basis that it has not been proved false or that it is false simply because it has not been proved true. This error in reasoning is often expressed with influential rhetoric.2
Pola sederhana dari argumen ignorantium informal ini adalah :
Pernyataan "Ada X adalah tidak terbukti". | Pernyataan: "Tidak ada X adalah tidak terbukti". |
Contoh –Contoh :
Contoh 1:
1. Jika ada seseorang berargumen bahwa Tuhan, Hantu, Sinterklas atau UFO adalah tidak ada, karena eksistensi mereka tidak terbukti. Maka pernyataan ini termasuk dalam Kesesatan Logika Ignorantium.
2. Di satu sisi, jika seseorang berargumen bahwa Tuhan, Hantu, Sinterklas atau UFO adalah eksis ada, karena ketidakadaan Tuhan, Hantu atau UFO tidak terbukti, maka ini adalah salah satu sisi lain kesalahan argumen Ignorantium.
Contoh lain :
Johnson: Mengirimkan Manusia ke Bulan adalah pemborosan dan tidak praktis Karena biaya yang dihabiskan untuk proyek itu bisa dihabiskan untuk menolong orang orang yang berada di bawah garis kemiskinan.
Hanson : Itu bukan tidak praktis.
Johnson : Kenapa?
Hanson : Buktikan kalau saya salah.
(Hanson membela pendapatnya dengan menggunakan ad ignorantiam, contohnya., Klaim Hanson adalah benar, Jika Johnson tidak bisa membuktikan bahwa Hanson salah – padahal sebenarnya Hanson tidak tahu apa apa)
Penggunaan Argumen ad ignorantium di dalam retorika dan pendekatan biasanya sama dengan teknik "perdebatan yang memuncak" yang pada akhirnya menuntut pembuktian kepada kedua belah pihak.Sebagai contoh :
Hanson : Tuhan itu tidak ada, jika tuhan itu ada, buktikan keberadaanNYA!?
Johnson : Tuhan itu ada, jika Hanson mengatakan Tuhan Itu tidak ada, dia harus membuktikan ketiadaanNYA?!
Jadi pada dasarnya kesalahan dalam Argumentum ad Ignorantium adalah menggunakan "Ketiadaan Pengetahuan" atau "ketidaktahuan" sebagai bahan dasar argumen. Ketidaktahuan dikerahkan untuk memberi dukungan bagi suatu pernyataan. Kesesatannya berupa intervensi bahan yang tidak ada sangkut pautnya, yaitu berupa ketidaktahuan diri kita sendiri, ke dalam suatu argumen mengenai perkara lain.
Memastikan ketiadaan akan sesuatu jauh lebih sulit. Anda harus memeriksa keseluruhan alam semesta pada saat yang sama untuk memastikan bahwa sasaran anda tak sedang bersembunyi di satu bagiannya. Tidak heran, upaya demikian jarang berhasil dilakukan, dan karenanya membuat kita punya ruangan luas tak terbatas yang sarat dengan ad ignorantium dan produk khayalan kita yang lain lagi. Sebagai contoh ad ignorantium pembuktian ketiadaan Tuhan Alam Semesta :
"Nak, aku sudah pernah melalui galaksi dari ujung ke ujung. Aku sudah melihat segala macam keanehan, tapi belum pernah kulihat apapun yang bisa membuatku percaya ada satu kekuatan mahakuasa yang mengendalikan semuanya."
Yah memang sangat disayangkan Tuhan disamakan dengan Sinterklas, UFO, Hantu, Segitiga bermuda, Monster Big Foot sebagai produk khayalan lainnya. Mereka berharap bisa melihat dengan Mata kepala sendiri bentuk Tuhan itu seperti apa dan mereka menyangka Tuhan berada di dalam Alam semesta. Padahal ada perbedaan mendasar Antara God (berdasarkan Filsafat Kosmologi Kalam) dengan produk khayalan lainnya.
Perbedaan pemahaman itu seperti pemahaman anak kecil tentang Kota Jakarta dengan Pemahaman Orang Dewasa :
Anak Kecil : Ibu, katanya kita mau ke Jakarta, mana Jakartanya?
Ibu : Lha ini kota Jakarta Nak!!
Anak : Mana aku tidak melihatnya mana kota Jakarta?
Ibu : Kita sedang berada di dalam kota Jakarta Nak
Anak : Tapi mana Jakarta aku tidak melihatnya?
Anda pernah mengalami dialog yang mirip seperti ini sewaktu kecil? Yah saya pernah. Dialog di atas terlihat jelas ada perbedaan mendasar pemahaman seorang anak tentang kota Jakarta dengan apa yang dimaksudkan oleh Orang Dewasa. Bagi Anak anak Kota Jakarta adalah sebuah benda yang bisa dilihat dan diraba dan diterawang. Sedangkan konsep orang dewasa adalah Jakarta adalah sebuah tempat dengan segala isinya. Tentu untuk membuktikannya ada sebuah kota Jakarta adalah lebih mudah, yang perlu dirubah dahulu adalah pemahaman tentang konsep Jakarta dari Benda menjadi Tempat. Setelah dirubah pemahamannya barulah mudah untuk membuktikan Kota Jakarta itu seperti apa.
Pemahaman Tuhan, Kebanyakan orang cerdas juga terjebak pada pemahaman seperti anak kecil tersebut di atas, atau bahkan terjebak hanya pada pemahaman Ibu tersebut. Seperti pernyataan David Hawkins bahwa "All Things Are God" padahal Tuhan tidak sesederhana itu.
Jadi klo pemahaman tuhan seperti itu dialognya akan seperti ini :
Hanson : "Proffesorr!!, aku sudah pernah melalui galaksi dari ujung ke ujung. Aku sudah melihat segala macam keanehan, tapi belum pernah kulihat apapun yang bisa membuatku percaya ada satu kekuatan mahakuasa yang mengendalikan semuanya."
Professor : "Lha ini itu tuhan Nak Hanson!!"
Hanson : "Mana Aku tidak melihatnya mana Dia Yang Maha Kuasa??"
Professor : "Lha ini kita berada di dalamNya Nak Hanson karena semua Alam Semesta planet, galaksi, bumi, matahari, gunung, batu,manusia adalah Tuhan?"
Hanson : "Tapi bagiku benda itu biasa saja, mana aku tidak melihatNya yang Maha Kuasa?"
Bagitu pula juga tentang God, pemahaman kita tentang Tuhan haruslah benar dahulu terlepas kita percaya atau tidak. Jadi ketidaktahuan pemahaman yang benar tentang Tuhan tidak bisa dijadikan bahan dasar intervensi argumentasi. Pemahaman dasar hal ini bisa dilihat di dalam artikel saya Tentang Filsafat Kosmologi Kalam. Yang mengatakan bahwa Tuhan Alam Semesta berada di Luar Alam semesta. Sehingga Manusia hanya tahu apa apa yang ada di dalam Alam semesta. Namun tidak mungkin untuk mengetahui sesuatu yang di luar Alam semesta kecuali Pribadi Yang Di luar Alam semesta itu sendiri yang Memberikan Informasi tentang diriNya. Pada titik ketidak adanya pengatahuan
ini (sebelum ada wahyu Tuhan), kita tidak akan pernah menuntut Pribadi Yang di luar alam semesta untuk membuktikan keberadaanNYA terlihat langsung oleh mata kepala kita sendiri di dalam Alam Semesta. Secara Logika hal ini tidak mungkin terjadi, dan memang seharusnya kita tidak menuntut pembuktian karena "ketidak tahuan kita akan sesuatu di luar alam semesta" jika kita memaksakan argumen :
keberadaan Allah SWT itu tidak ada karena didasarkan "ketidaktahuan kita akan sesuatu di luar alam semesta" maka kita telah melakukan ad ignorantium.
Jadi klo kita ulang dialog antara Hanson dengan Professor yang sudah faham akan Tuhan maka :
Hanson : "Proffesorr!!, aku sudah pernah melalui galaksi dari ujung ke ujung. Aku sudah melihat segala macam keanehan, tapi belum pernah kulihat apapun yang bisa membuatku percaya ada satu kekuatan Mahakuasa yang mengendalikan semuanya."
Professor : "Apakah engkau sudah melihat ke luar Alam Semesta?" buktikan dahulu Nak Hanson pernah ke luar alam semesta?"
Hanson : "Belum Pernah, dan tidak mungkin bisa aku mengeceknya ke luar alam semesta yang tak terbatas itu sedangkan aku adalah makhluk terbatas. apakah Yang Maha Kuasa berada di Luar alam semesta?"
Professor : "karena kamu belum pernah ke luar alam semesta, dan kamu tidak mungkin bisa ke sana, dan kamu tidak mengetahui apa apa tentang sesuatu di luar Alam semesta, maka Kamu tidak berhak mengatakan Tuhan tidak Ada karena ada kemungkinan Ada di dalam ketidaktahuan kita.Juga termasuk saya"
Penggunaan Argumen ad ignorantium pada prakteknya masih bisa dibenarkan hanya pada situasi situasi tertentu. Seperti dalam Ilmu Pengetahuan (Falsification test), Sidang Pengadilan – Azaz Praduga Tak bersalah. Seorang Tersangka masih belum dianggap bersalah, selama belum ada bukti bukti sebaliknya yang kuat yang mempengaruhi keputusan Hakim. Jadi pada prakteknya bisa jadi Sesorang diputus pengadilan tidak bersalah karena tidak ada bukti, padahal pada faktanya dia adalah Koruptor Century Kelas kakap. Namun penerapan ini lebih kepada "jalan mudah" daripada sebuah Metode Berpikir Logika.
Dalam dialog terakhir di atas menunjukkan bahwa pengetahuan manusia di dalam alam semesta bahwa tuhan tidak ada di Alam semesta adalah benar, namun hal ini adalah masih berupa "satu sisi keping pengetahuan". Karena satu sisinya lagi adalah berupa ketidaktahuan tentang sesuatu di luar alam semesta.
Premise 1 : Di satu sisi saya tahu bahwa tidak ada tuhan di Alam Semesta.
Premise 2 : Di sisi lain saya tidak tahu bahwa ada Tuhan di luar Alam Semesta.
Kesimpulan : Saya Tidak Tahu bahwa Tuhan itu ada atau tidak ada.
Apakah berarti, menurut akal kita, jika Tuhan itu tidak ada masih merupakan sebuah "setengah pengetahuan". Jika kita memakai fenomena gunung es di tengah laut, berarti apa yang kita ketahui tentang Tuhan, dan dengan pernyataan utamanya : Tuhan tidak ada, masih berupa apa yang kelihatan dan kita ketahui ? Bagaimana dengan yang tidak kelihatan dan tidak kita ketahui. Jika yang kita ketahui adalah "Tuhan tidak ada", hal itu dapat membuka kemungkinan bahwa apa yang tidak kita ketahui adalah "Tuhan itu ada". Semacam kontradiksi memang, tapi jawabannya adalah iya. Logika ketidaktahuan kita justru dapat membawa manusia kepada suatu misteri pemahaman bahwa Tuhan itu ada, dengan menegasikan pernyataan utamanya. Apa yang tidak diketahui manusia dapat membuat penalaran utama sebagai inti akan menguap, dan membentuk penalaran ketidaktahuan yang baru. Dengan kata lain Tuhan itu ada dalam ketidaktahuan manusia. Ketidaktahuan yang merupakan perlawanan terhadap arus utama pemikirannya yang menggunakan akal dan nalar.
Pada titik terakhir dialog di atas, manusia sudah pada puncak pencariannya dan pengetahuannya. Jadi selanjutnya adalah 'beban pembuktiannya' atau beban penjelasan pengetahuan kepada pihak Sesuatu di luar Alam semesta yang membuktikan eksistensi diriNYA sendiri kepada manusia. (saya memakai tanda kutip 'beban pembuktian" karena sulit memilih kata yang pas untuk atribut Something Out there) Sesuatu itu memilih untuk membuktikan eksistensi diriNYA atau tidak membuktikan itu bergantung kehendak Sesuatu yang di Luar Alam semesta untuk mau menjelaskan atau tidak. Inilah jalur logis dari kebuntuan ketidaktahuan kita manusia tentang sesuatu di luar alam semesta.
Nah kemungkinan beban pembuktian oleh "Sesuatu di luar Alam semesta sana" bisa lewat beberapa jalan :
1. Menampakkan diri secara langsung di dalam Alam semesta dan terlihat
manusia.
2. Memberi Pesan khusus kepada "manusia terpilih dan terpercaya" sebagai
Perantara Pesan.
3. Mukjizat atau keajaiban Penciptaan Alam Semesta/Petunjuk Langsung
4. Ilmu Pengetahuan
Untuk point 1,2,3 adalah point transedental dan nomor satu adalah beban pembuktian yang tertinggi dari pihak sesuatu di luar alam semesta, sedangkan point 4 adalah point puncak ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia yang beban pembuktiannya justru berbalik 100% kepada manusia itu sendiri. Maka sangat logislah surat al Hajj:22:8 ayat tersebut di atas.
Beban Pembuktian Nomor 1 :
Namun untuk beban pembuktian nomor satu, ada dua kisah menarik dalam Al-Quran yang dapat di jadikan contoh yaitu kisah Nabi Musa a.s dan Kisah Bani Israil. Dalam Hal ini Nabi Musa a.s dan Bani Israil Meminta Pembuktian Keberadaan Allah SWT secara langsung terlihat kasat mata di dalam Alam Semesta. (beban Pembuktian kepada Allah SWT langsung yang berada di luar alam semesta)
"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."(QS:Al-A'Raf 7:143)
"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya".(QS Al-Baqarah:2:55)
Dari kedua Ayat tersebut di atas, Allah SWT ingin menunjukkan kesalahan logika yang masih bersarang di dalam pemahaman baik Nabi Musa maupun Bani Israil bahwa Tuhan pencipta Alam Semesta itu bisa dilihat di dalam alam semesta. Berdasarkan artikel "filsafat Kosmologi Kalam" Maka jelas logika Maha Pencipta haruslah di luar Alam semesta, konsekwensinya jelas Sesuatu yang Di luar Alam semesta tidak mungkin bisa menjadi atau masuk ke dalam Alam semesta menjadi ciptaan-sangat tidak logis.
Menariknya Allah SWT memberi jawaban yang berbeda baik terhadap Nabi Musa yang berbeda dengan Kaum Bani Israil yang kena halilintar. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Musa telah memiliki Ilmu pengetahuan, Memahami Mukjizat atau Petunjuk Langsung dan menjadi Perantara pembawa pesan wahyu artinya ketiga point 2, 3 dan 4 telah di miliki Nabi Musa, sehingga Puncak Pembuktian adalah Point Nomor 1. Sedangkan Kaum Bani Israil ingin di istimewakan dengan pembuktian melihat langsung rupa Allah SWT tanpa memilliki Point 2,3 dan 4. Sehingga jika dibuktikan seperti kepada Nabi Musa, maka kesimpulan yang didapat oleh kaum bani Israil juga akan salah, bisa bisa mereka menganggap itu sihir yang nyata. Jadi sia-sia Allah SWT membuktikan no.1 kepada mereka tanpa memahami dahulu point 2,3 dan 4. Karena pada dasarnya mereka masih menganut pemahaman Paganisme dimana tuhan Nabi Musa dianggap sama seperti Tuhan Pagan yang bisa dilihat mata kepala sendiri.
"…maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: "Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." Musa menjawab: "Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)."
(Al-A'raf: 7 :138)
(Dengan kata lain Nabi Musa a.s ingin mengatakan bani Israil memakai argumentum ad ignorantium yang tidak mengetahui apa apa tentang Tuhan)
Maka kalau seseorang 'sok tahu' tentang sesuatu yang tidak ada ilmu padanya, berarti bodoh di atas kebodohan. Yakni bodoh tentang ilmunya dan bodoh tentang dirinya. Wallahu a'lam.
-------------------------
http://thinkexist.com/quotation/as_for_me-all_i_know_is_that_i_know_nothing/12036.html
2
http://philosophy.lander.edu/logic/ignorance.html
0 Response to "Argumentum ad Ignorantium dalam Al-Quran Tentang Allah SWT"
Post a Comment